Sabtu, 17 Maret 2012

MENGENAL LEBIH DALAM TENTANG PENDIDIKAN INKLUSI


MENGENAL LEBIH DALAM TENTANG PENDIDIKAN INKLUSI
( Pendidikan Terhadap Anak Berkebutuhan Khusus )

Disusun Oleh :
WARSITO ,S.Pd
Kepala Sekolah Dasar Negeri 01 Kragan
Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar
Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia umumnya. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya adalah pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi, tidak hanya memenuhi target pendidikan untuk semua dan pendidikan dasar 9 tahun, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak tetapi lebih penting lagi bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan, dengan demikian penyandang cacat anak akan merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab.
Inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup (way of life) yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Dengan demikian sekolah atau pendidikan menjadi suatu lingkungan belajar yang ramah anak-anak. Pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pendidikan yang memungkinkan setiap anak penuh berpartisipasi dalam kegiatan kelas reguler tanpa mempertimbangkan kecacatan atau karakteristik lainnya. Disamping itu pendidikan inklusi juga melibatkan orang tua dalam cara yang berarti dalam berbagi kegiatan pendidikan, terutama dalam proses perencanaaan, sedang dalam belajar mengajar, pendekatan guru berpusat pada anak.
Landasan Hukum
1. Landasan Spiritual

a. Surat An Nisa ayat 9
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.
b. Surat Az Zuhruf ayat 32
“Allah telah menentukan diantara manusia penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Allah telah meninggikan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat saling mengambil manfaat(membutuhkan)”.

2. Landasan Yuridis

a. Konvensi PBB tentang Hak anak tahun 1989.
b. Deklarasi Pendidikan untuk Semua di Thailand tahun 1990.
c. Kesepakatan Salamanka tentang Pendidikan inklusi tahun 1994.
d. UU No. 4 tentang Penyandang Cacat tahun 1997.
e. UU No. 23 tentang Perlindungan Hak Anak tahun 2003.
f. PP No. 19 tentang Standar Pendidikan Nasional tahun 2004.
g. Deklarasi Bandung tentang Menuju Pendidikan Inklusi tahun 2004.
Kalau kita cermati lebih teliti, landasa spiritual maupun landasan yuridis tersebut telah memberikan dasar hukum yang jelas tentang bagaiman penyelenggaraan pendidikan inklusi yang memang merupakan sebuah kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

3. Implementasi Di Lapangan

Indonesia Menuju Pendidikan inklusi Secara formal dideklarasikan pada tanggal 11 agustus 2004 di Bandung, dengan harapan dapat menggalang sekolah reguler untuk mempersiapkan pendidikan bagi semua anak termasuk penyandang cacat anak. Setiap penyandang cacat berhak memperolah pendidikan pada semua sektor, jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 6 ayat 1). Setiap penyandang cacat memiliki hak yang sama untuk menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat (Pasal 6 ayat 6 UU RI No. 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat).
Disamping pendidikan atau sekolah reguler, pemerintah dan badan-badan swasta menyelenggarakan pendidikan atau sekolah khusus yang biasa disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) untuk melayani beberapa jenis kecacatan. Tidak seperti sekolah reguler yang tersebar luas baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. SLB dan SDLB sebagian besar berlokasi di perkotaan dan sebagian kecil sekali yang berlokasi di pedesaan. Penyandang cacat anak untuk menjangkau SLB atau SDLB relatif sangat jauh hingga memakan biaya cukup tinggi yang tidak terjangkau penyandang cacat anak dari pedesaan. Ini pula masalah yang dapat diselesaikan oleh pendidikan atau sekolah inklusi, di samping memecahkan masalah golongan penyandang cacat yang merata karena diskriminasi sosial, karena dari sejak dini tidak bersama, berorientasi dengan yang lain.

4.  Kendala / Kelemahan

            Minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusi, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusi menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusi belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusi hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusi, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.

5. Solusi

Jika pemerintah memang serius dalam melaksanakan program pendidikan inklusi, maka yang harus dilakukan adalah dengan menjalankan tahapan – tahapan pelaksanaan pendidikan inklusi secara konsisten mulai dari sosialisasi hingga evaluasi pelaksanaannya. Namun yang lebih penting dan secara langsung dapat dilakukan oleh para guru untuk mewujudkan pendidikan inklusi adalah dengan menciptakan suasana belajar yang saling mempertumbuhkan (cooperative learning). Cooperative Learning akan mengajarkan para siswa untuk dapat saling memahami (mutual understanding) kekurangan masing – masing temannya dan peduli (care) terhadap kelemahan yang dimiliki teman sekelasnya. Dengan demikian maka sistem belajar ini akan menggeser sistem belajar persaingan (competitive learning) yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan kita. Dalam waktu yang bersamaan competitive learning dapat menjadi solusi efektif bagi persoalan yang dihadapi oleh para guru dalam menjalankan pendidikan inklusi. Pada akhirnya suasana belajar cooperative ini diharapkan bukan hanya menciptakan kecerdasan otak secara individual, namun juga mengasah kecerdasan dan kepekaan sosial para siswa.
6. Hasil Pendidikan Inklusi

Menurut Staub dan Peck (1994/1995) ada lima manfaat atau kelebihan program inklusi yaitu:
1. Berdasarkan hasil wawancara dengan anak non ABK di sekolah menengah, hilangnya rasa takut pada anak berkebutuhan khusus akibat sering berinteraksi dengan anak berkebutuhan khusus.
2. Anak non ABK menjadi semakin toleran pada orang lain setelah memahami kebutuhan individu teman ABK.
3. Banyak anak non ABK yang mengakui peningkatan selfesteem sebagai akibat pergaulannya dengan ABK, yaitu dapat meningkatkan status mereka di kelas dan di sekolah.
4. Anak non ABK mengalami perkembangan dan komitmen pada moral pribadi dan prinsip-prinsip etika
5. Anak non ABK yang tidak menolak ABK mengatakan bahwa mereka merasa bahagia bersahabat dengan ABK

Dengan demikian orang tua murid tidak lagi khawatir bahwa pendidikan inklusi dapat merugikan pendidikan anaknya justru malah akan menguntungkan.
Semoga Bermanfaat .


Senin, 27 Februari 2012

Pembelajaran Diluar Kelas


LANGKAH JITU DALAM MENGOPTIMALKAN PEMBELAJARAN DI LUAR KELAS
 

Oleh : WARSITO ,S.Pd
Kepala Sekolah SD Negeri 01 Kragan
Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar

            Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989, menegaskan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah. Di dalam lingkungan sekolah sendiri dapat berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas. Sedangkan pendidikan di luar sekolah dapat berlangsung di lingkungan keluarga atau di masyarakat. Ini semua memerlukan adanya perhatian dan pemikiran yang cermat dan sungguh-sungguh mengenai sistem manajemen yang diperlukan. Namun di manapun proses pendidikan dilakukan, di lingkungan sekolah atau di luar sekolah, pada hakekatnya mengembangkan potensi sumber daya manusia. Tujuan tersebut diupayakan dicapai melalui apa yang disebut kegiatan pembelajaran .
Pengembangan dari pendidikan di lingkungan sekolah yang mengacu pada Model Pembelajaran Konstektual ( Constextual teaching and learning – CTL ) yang paling dekat adalah PEMBELAJARAN DI LUAR KELAS . Ini sangat tepat sekali dengan 3 pilar dalam system CTL yang disampaikan oleh Johnson ( 2004 ) antara lain :
1.       CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan
2.       CTL mencerminkan prinsip diferensiasi .
3.       CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri .
Landasan Filosofi CTL adalah konstruktivisme , yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal . Pembelajaran berbasis CTI menurut ( Sanjaya , 2004 ) melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran, yakni : Konstruktivisme( Construktivisme) , Bertanya ( Questioning ) , Menemukan ( Inquiry ),Masyarakat Belajar ( Learning Community) ,Pemodelan ( Modeling ) , dan Penilaian Sebenarnya ( Authentic Assessment ) .
Untuk mencapai itu semua bentuk Pembelajaran Di Luar Kelas adalah cara jitu menggoptimalkan hasil belajar . Pembelajaran di luar kelas ini masih jarang sekali dilakukan oleh para tenaga pendidik , bahkan ada yang menilai tidak efektif dan makan waktu ( tidak efisien ) . Untuk menjawab itu semua , mari coba kita simak langkah-langkah yang harus dipersiapkan untuk melakukan pembelajaran di luar kelas . Secara garis besar yang perlu disiapkan adalah :
1.      Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri , menemukan sendiri , dan mengkontruksikan sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya .
2.      Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topic / tema .
3.      Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya .
4.      Ciptakan “ masyarakat belajar “ ( belajar dalam kelompok-kelompok ) .
5.      Siapkan lembar kegiatan siswa yang di dalamnya telah  berisi tentang hal-hal yang harus diamati / dipelajarai / dipraktekkan oleh siswa saat di luar kelas . Hal ini untuk memfokuskan perhatian siswa pada obyek yang akan dipelajari dan membatasi siswa agar tidak melakukan hal-hal yang diluar materi .
6.      Buat batasan waktu disaat anak melakukan kegiatan diluar kelas dalam melaksanakan lembar kegiatan .
7.      Pilihlah lingkungan atau obyek belajar yang sesuai dengan topic / tema yang akan dipejari untuk mencapai tujuan dari pembelajaran tersebut .
8.      Lakukan refleksi diakhir penemuan .
9.      Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara penilaian .
Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam penilaian ini, yakni (1) norma, (2) prosedur penilaian dan (3) alat penilaian. Norma berkaitan dengan ukuran-ukuran keberhasilan yang diinginkan. Prosedur berkenaan dengan bagaimana cara penilaian itu dilakukan. Sedangkan alat penilaian berkenaan dengan instrumen dalam bentuk soal-soal yang akan diujikan pada warga belajar.

Pembelajaran di luar kelas  dapat optimal bisa kita ukur dengan aspek-aspek yang harus ada dan terlaksana pada saat proses pembelajaran tersebut . Adapun aspe-aspek tersebut adalah :
      1. Pengalaman nyata .
2. Kerja sama , saling menunjang
3. Gembira, belajar dengan bergairah
4. Penbelajaran terintegrasi
5. Menggunakan berbagai sumber
6. Siswa aktif dan kritis
7. Menyenangkan , tidak membosankan
8. Sharing dengan teman
9. Guru kreatif

Pembelajaran di dalam kelas sering  membuat siswa bosan dan terkesan monoton . Maka sudah saatnya kita memberi  kesempatan pada siswa seluas-luasnya untuk mengembangkan pemikirannya , memberi ruang / wahana sifat ingin tahu siswa , dan posisikan kita sebagai fasilisator , motivator , dan inspirator bagi siswa .  ( Selamat Mencoba ) .


PUISI " Jeritan Hati Anak Negeri "


Jeritan Hati Anak Negeri

Saat-saat kaki terlangkahkan
Sejenak hati berfikir tentang keadilan
Ketika bangsa dilanda bencana
Ketika rakyat kecil dirundung duka
Ketika semua orang berharap tanya
Mana yang benar dan mana yang salah ?!
Banyak sosok muncul seolah pakar
Berteriak-teriak seakan benar
Seharusnya begini dan seharusnya begitu !!
Ternyata semua hanya teori membingungkan
Di sudut-sudut kota dan pelosok negeri
Rakyat jelata menggeliat kelaparan
Anak-anak mulai putus harapan
Akan kemana kami mencari
Napas kebebsan yang semakin sesak
Angin kehidupan yang mulai hilang
Sungguh tragis dan ironis
Rupiah terpuruk dalam kekhawatiran
Si awam hanya bertanya
Dosa siapakah ini ?!
Mengapa kami yang mendapat siksa
Kami tidak perlu banyak partai
Kami perlu banyak beras
Kami perlu banyak susu
Kami perlu makan
Dan kami perlu keadilan

Kecerdasan dan Kesuksesan



Kecerdasan dan Kesuksesan

Disusun Oleh : 
WARSITO , S.Pd 
Kepala Sekolah SDN 01 Kragan Kecamatan Gondangrejo . Karanganyar


Intelligence Quotient (IQ) yang hampir seratus tahun lalu diperkenalkan oleh William Stern tlah menyita perhatian yan tidak kecil. Bangunan-bangunan utama kecerdasan ditakar dalam skor-skor tertentu. Takaran IQ bahkan menjadi momok bagi siswa tertentu ketika ia harus memilih mau menjadi apa dia kelak. Yang lebih tragis, takaran IQ telah menghilangkan kesempatan berkembang bagi mereka yang memiliki IQ rendah, tetapi dengan kecerdasan lain yang dominan.
Intelligence Quotient (IQ), menurut Daniel Goleman, hanya menyumbang sekitar 5-10 persen bagi kesuksesan hidup. Sisanya adalah kombinasi beragam factor yang salah satunya adalah kecerdasan Emosi (Gramedia, 1996). Intelligence Quotient (IQ), menurut Paul Scoltz, hanya bagian kecil dari pohon kesuksesan dalam semua hal. Scoltz yang menulis buku Adversity Quotient (Gramedia, 2000), menyebut kinerja, bakat dan kemauan, karakter, kesehatan, kecerdasan, faktor genetik, pendidikan, dan keyakinan sebagai kunci-kunci kesuksesan manusia.
Menurut Howard Gardner, ahli pendidikan dengan memperkenalkan teori Multiple Intelligence (MI, atau kecerdasan majemuk), mempertegas bahwa kesuksesan tidak dapat hanya diukur dengan kecerdasan intelektual. Tujuh jenis kecerdasan itu adalah linguistic, matematika, spasial, kinestetis, musik, antar pribadi, dan inter pribadi. Tujuh potensi kecerdasan dengan kadar berbeda-beda ada pada setiap orang. Ketujuh kecerdasan majemuk itu bukan bagian-bagian jyang terpisah dari kecerdasan manusia. semuanya terintegrasi dan saling terkait satu sama lain. Jelasnya setiap orang memiliki tujuh jenis kecerdasan itu. Masalahnya, pendidikan kita cenderung mengoptimalkan satu atau dua kecerdasan saja. Oleh Karena itu, tugas paling berat adalah optimalisasi tujuh kecerdasan itu. Ini artinya, optimalisasi seluruh otak!.
Kesuksesan harus dipandang sebagai pemakaian otak secara utuh (whole brain), Jika selama ini otak belum dipakai secara utuh, namun yang patut disyukuri adalah adanya dukungan ilmiah bahwa otak manusia berperan penting dalam kecerdasan dan kesuksesan. bahkan ahli saraf terkenal dari Universitas Indonesia, Prof. Sidiarto Kusumoputro, mengembangkan pelatihan otak yang didasari pada temuan-temuan spektakuler neurosains tersebut. Pelatihan KISS ME (Kreatifitas, Imajinasi, Sosialisasi, Spiritual, Musik, dan Emosi), Neurobics, dan Brain Gym adalah pelatihan untuk optimalisasi otak.
Hal tersebut diatas membuktikan bahwa kekuatan terbesar manusia bukan terletak pada bagian luar tubuh manusia. kekuatan ada pada diri manusia. problemnya, manusia kurang begitu mengenal dirinya. Socrates benar ketika ia menyatakan bahwa masalah mendasar manusia adalah `pengenalan diri`, “Gnothi Teauton” kata Socrates. ‘kenalilah dirimu!”
Kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi, dan kecerdasn majemuk merupakan kunci-kunci kesuksesan yang betul-betul mengorek hingga ke dasar-dasarnya kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Namun, perlu diperhatikan secara jelas bahwa ketiga konsep itu memiliki kelemahan yang sangat signifikan dalam mengaktualkan potensi dasar otak manusia.

Ukuran IQ memiliki kelemahan dala hal pemberian peluang bagi nuansa-nuansa emosional, seperti empati, motivasi diri, pengendalian diri, dan kerja sama social. Sementara itu, kecerdasan majemuk (MI) lebih menonjolkan aspek kognitif, sekalipun musik, olah raga, dan hubungan antar pribadi dipandang sebagai kecerdasan jenis tersendiri. EQ, sebagaimana juga ditemui pada konsep IQ dan MI, sama sekali menepiskan peranan aspek spiritual yang mendorong kesuksesan. Ketulusan, integritas, tanpa pamrih, `ngalap barokah`, rendah hati, dan orientasi kebajikan social adalah beberapa hal penting dari kehidupan spiritual yang memberi kepuasan total bila seseorang sukses. Aspek-aspek spiritual itu tidak hanya membuat seseorang sukses, tetapi juga BAHAGIA.